Selasa, 05 Mei 2009

Penyair Taufiq Ismail melakukan perjalanan ke Afrika Selatan, 19 April – 3 Mei 1993. Dua sajaknya berjudul Tanjung dan Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf merupakan kesan-kesan puitiknya tentang bagian benua itu, yang sudah punya hubungan sejarah degnan Indonesia sejak 6 April 1652, ketika nakhoda Jan van Riebeeck mendaratkan kapal-kapal VOC di Teluk Meja, Tanjung Harapan.

 Sejak itulah Belanda menjalankan dua proyek kolonialisme sekaligus, yaitu Indonesia dan Afrika Selatan. Kawasan Cape atau Tanjung menjadi tempat pengasingan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia antara lain seperti tiga orang tokoh dari Sumatera Barat yang tak dikenal namanya (1667), Syekh Yusuf (1694) kelahiran Goa, berjuang di Banten, Imam Abdullah Ibn Qadi Abdussalam  (1780) yang adalah Sultan Tidore atau lebih terkenal dengan nama Tuan Guru, kemudian Tuan Said dari Batavia (asal Yaman), Raja Tambora (Nusa Tenggara). Sultan Ahmad (Ternate), Said Abdurrahman (Madura) dan Daeng Mangenan (Sulawesi Selatan).

Keturunan mereka dan juga pekerja-pekerja paksa yang didatangkan Belanda ke Afrika Selatan yang kini bermukim di sana lebih dikenal sebagai Cape Malays, kurang lebih 600.000 orang dari sejuta kaum Muslimin di negara yang berpenduduk 38 juta.

Walaupun terpisah oleh jarak 10.000 km jauhnya dan oleh waktu sudah lebih dari 300 tahun lamanya, terutama sejak zaman apartheid 1948-1991 yang merupakan isolasi nyaris total sehingga seperti saling tak kenal atau lupa pada sejarah, namun mereka tetap merasa sangat dekat dengan Indonesia dan Malaysia yang mereka kenang sebagai negeri leluhur, tanah air asal-usul nenek moyang mereka.

Dalam pertemuan dengan masyarakat Melayu Cape Town yang sangat akrab dan ramah-tamah itu, penyair Taufiq Ismail membacakan puisi Tanjung di Cape Town, pada tanggal 21, 22 dan 24 April 1993. Pertama di Universitas Cape Town, kedua di masjid Zinatul Islam yang terletak di Districk Six sebelum shalat Jum’at dan yang ketiga kalinya dalam acara Cultural Evening di Claremont Civic Centre.


Pada pembacaan puisi tersebut dibacakan karya yang asli dan kemudian terjemahan Inggrisnya. Hadirin masyarakat Cape Town menyimak puisi tersebut dengan penuh perhatian dan rasa terharu. Mereka merasa bahwa Indonesia adalah tanah leluhur mereka, bahwa 15-20 pejuang-pejuang yang dibuang dan terkubur di benua Afrika sejak abad 17 itu adalah pemimpin panutan mereka, dan mereka rindu sekali untuk berkunjung ziarah ke Sulawesi Selatan, Banten, Tidore, Madura dll, tempat asal-usul pemimpin dan keluarga mereka dahulu. Ziarah sedemikian tak mungkin dilakukan di zaman apartheid dulu, namun kini dengan dihapuskannya apartheid pada 1991, kini sudah mungkin dilakukan. Marilah kita sambut mereka bila hal ini terjadi.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar