Syekh Yusuf
(1626-1699): Ulama, Sufi, Pengarang, Pahlawan
Catatan ringkas
Taufiq Ismail
Yusuf
dilahirkan pada tahun 1626 di lingkungan keluarga raja Gowa. Makassar, menuntut
ilmu sejak umur 18 di Banten dan Aceh, kemudian mengembara mencari ilmu ke
Yaman, Makkah, Madinah dan Damaskus. Setelah menjadi guru di Masjidil Haram
(Makkah) dan dipanggil dengan gelar Syekh, pada usia matang 38 tahun pulang ke
tanah air (1664), mengajar di Banten dan menjadi Mufti di istana Sultan Ageng
Tirtayasa selama 18 tahun. Dia adalah guru sufi thariqat Khalwatiyah.
Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Ba’alawiyah dan Syattariyah. Di antara para ulama di
Banten, beliaulah yang paling disegani.
Setelah
memimpin pertempuran melawan Kompeni di Banten yang dilanjutkan menjadi perang
gerilya di Jawa Barat (1682-1683), dengan pasukan sebesar 5.000 orang yang
terdiri dari 4.000 prajurit Banten dan Sunda, 1.000 prajurit Makassar, Bugis,
dan Melayu, Syekh Yusuf ditangkap Belanda secara khianat di Mandala (selatan
Cirebon) dan dibuang ke Batavia lalu ke Ceylon (1684) selama 9 tahun.
Di
Ceylon Syekh Yusuf melanjutkan menulis risalah atau buku tentang tasawwuf dan
agama sebanyak 16 judul, yang masih tersimpan dengan baik di perpustakaan Universitas
Leiden dan Perpustakaan Nasional Jakarta. Santri-santrinya pada waktu itu
adalah orang India dan Ceylon yang memasyhurkan namanya di sana. Raja India
Aurangzeb Alamgir (1659-1707) sangat hormat padanya.
Karena
masih melakukan kegiatan melawan Kompeni secara terselubung di Ceylon, Syekh
Yusuf kemudian dibuang ke Afrika Selatan (1694) selama 5 tahun dan meninggal di
sana (1699) pada usia 73. Syekh Yusuf adalah ulama pelopor yang meletakkan
fondasi Islam di Afrika Selatan. Dia dimakamkan di atas sebuah bukit tempat
pembuangannya di Faure, yang juga disebut Macassar. Atas desakan Raja Gowa. 5
tahun kemudian jenazahnya dibawa ke kampung kelahirannya dengan kapal laut De
Spiegel.
Demikianlah
Syekh Yusuf, seorang ‘alim besar, tokoh sufi, pengarang dan komandan
pertempuran melawan kolonialisme yang gagah berani, akhirnya dimakamkan kembali
di dekat kampung kelahirannya di Lakiung, Sulawesi Selatan (1705).
Sesudah
300 tahun Indonesia nyaris lupa total pada pejuang besar ini, selepas 2 April
1994, yaitu tepat hari 300 tahun pendaratannya di Afrika Selatan, tentulah
harus ingat kembali padanya dan menjadikannya teladan luhur yang tak akan lagi
terlupakan. Mari kita ukirkan nama Syekh Yusuf dengan huruf-huruf emas dalam
sejarah dan meniadakan semua dongeng lama dan mitos tua dan historis tanpa
bukti tarikh mengenai beliau, seorang tokoh besar yang bukan milik kampung atau
daerah, bahkan bukan juga milik negaranya saja, tapi sudah melampaui
batas-batas benua dan mencapai format tokoh dunia.
Jakarta, 31 Maret
1994
Categories: Sejarah Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar