Sabtu, 02 Mei 2009

Daeng Kanduruan Ardiwinata

Posted by Asas CnC @rt On 04.05
Tokoh Sastrawan Sunda dan Sesepuh Paguyuban Pasundan

Oleh: H. D. Mangemba

“DAENG Kanduruan Ardiwinata merupakan seorang sastrawan Sunda yang banyak dibicarakan orang, baik yang bertalian dengan riwayat hidupnya hasil karyanya. Di antara para penulis yang pernah membicarakan adalah Ajib Rosidi dan Utuy Tatang Santani,” demikian kata pengantar Tini Kartini dalam bukunya yang berjudul “Daeng Kanduruan Ardiwinata Sastrawan Sunda” (1979).

1. Siapakah Daeng Kanduruan Ardiwi-nata itu?
Dia dilahirkan pada tahun 1866 di Desa Kejaksaan Girang, Bandung dan meninggal 12 Januari 1947 di Manonjaya, Tasikmalaya. Kakek Daeng Kanduruan Ardiwinata yang bernama Karaeng Yukte Desialu adalah raja Lombok dari Makassar yang dibuang ke Bandung oleh pemerintah Belanda karena memberontak. Ia dibuang bersama putranya, Baso Daeng Pasau alias Daeng Sulaeman, dan kakeknya, Karaeng Ballasuka.


Di bandung, Baso Daeng Pasau mempersunting gadis Priangan bernama Nyi Mas Rumi, dan dari perkawinan itu lahir Daeng Kanduruan Ardiwinata.

Ketika Ardiwinata berusia tiga tahun, kakek dan ayahnya mendapat pengampunan dan diperkenankan kembali ke Makassar. Oleh karena keluarganya tidak mengizinkan Nyi Mas Rumi mengikuti suaminya ke Makassar, maka ibu dan anak itu ditinggalkannya di Bandung. Sepeninggal ayahnya, Daeng Kanduruan Ardiwinata (D.K Ardiwinata) dibesarkan oleh kakak ibunya yang bernama Nyi Mas Haji Mariam, istri R. Moh. Gapur, kalipah asesor Bandung (Rosidi, 1969:42).

2. Ballasuka, Suka dan Pao Masuk Wilayah Gowa
Dalam kontrak yang dibuat gubernur dengan Bone tanggal 13 Februari 1860, maka ditetapkanlah bahwa Ballasuka, Suka, dan Pao yang letaknya antara Sungai Tangka dan Maningko akan dijadikan daerah gubernemen. Negeri-negeri itu berganti-ganti diperintah oleh Gowa dan Bone. Tetapi sejak tahun 1816 negeri-negeri itu mengakui kekuasaan Gowa, maka gubernemen menyerahkan kekuasaan atas negeri-negeri itu kepada raja Gowa, menurut perjanjian pada tanggal 24 Desember 1860. Demikian pula kawasan-kawasan yang terletak pada sebelah selatan Gunung Katanorang, Boronglangik-E, dan Bonto Uhe, sedangkan Turungang, Manipi, dan Manimpahoi menjadi kepunyaan gubernemen dengan Balanipa sebagai pusatnya.

3. Karaeng Lombok Dibuang ke Cianjur
Dalam bulan Februari 1862 Karaeng Ballasuka dan kedua putranya beserta Karaeng Lombok, saudara laki-laki Karaeng Ballasuka, dengan mengerahkan rakyat bersenjata ke Manipi sementara Asisten Residen J.A. Bakkers berada di sana membujuk Arung Manipi beserta anggota-anggota handatnya supaya berangkat ke Balanipa. Mereka memperlakukan Bakkers dengan tiada senonoh dan mengancam akan membunuhnya.

Februari 1860

Aroe Balasoeka en zijn beide zoons Daeng Paselloe en Daeng Papada, en Kraeng Lombo, broeder van Aroe Balasoeka verstauten zich met gewapend volk naar manipie tegaan, terwijl de ambtenaar bakkers zich daar bevindt om Aroe Manipie en haar hadat overtehalen naar Balanipa aftekomen. Hij behandelen die ambtenaar op eene onbetamelijke wijze en bedregen een ogenblik zelfs zijn leven. (Geschiedkundig Overzigt van hwt Gouvernement Celebes en Inderhoorigheden van 1846 t/m 1865).

Karena Ballasuka, Suka, dan Pao adalah wilayah Gowa, maka dalam tahun 1862 (April) raja Gowa sendiri ke Wawobuluk untuk menghukum beberapa anak raja dari Ballasuka dan Suka karena memberi malu kepada Asisten Residen Bakkers. Dalam perang ini, Karaeng ini, Karaeng Suka tewas. Pamannya, Karaeng Lombok (putra Aru Pao) bersama putranya tertangkap dan diserahkan kepada gubernemen, dan mereka dibuang ke Cianjur (Gouvts, Besluit van 12 Agustus 1862 No. 43). Karaeng Ballasuka bersama kedua putranya, Daeng Pasellu dan Daeng Papada, menurut pihak Belanda, mengusik (mengacau) penduduk Suka dan Ballasuka, akhirnya Karaeng Ballasuka dan Daeng Pasellu tertangkap di Manipi dan dibuang ke Cianjur dalam tahun 1864.

De Koning van Goa tuchtihgt Soeka en Belasoeka. Aroe Soeka sneuvelt; zijn oom Kraeng Lombo (zoon van Aroe Pao) Wordt met zijn zoon gavangen genomen en aan net Gouverment overgeleverd, en naar Tjanjoer verbannen (Gouvts. Besluit van 12 Agustus 1862 No. 43). Aroe Balasoeka, Daeng Paselloe en Daeng Papada houden zich in Manipie op, en verontrusten de bevolking van Soeka en Balasoeka.

4. Dibuang ke Cianjur
Karaeng Ballasuka dan Karaeng Lombok adalah bersaudara. Mereka adalah putra Aru Pao, sedangkan Karaeng Suka adalah kemenakannya. Sebagai akibat pemberontakan terhadap kedudukan Belanda di Manipi, maka Karaeng Lombok beserta putranya Baso Daeng Pasau dibuang gubernemen ke Cianjur dalam tahun 1862, sedangkan Karaeng Ballasuka dibuang pula ke Cianjur dua tahun kemudian (Oktober 1864). Jadi, agak sesuailah dengan data yang terdapat dalam riwayat hidup D.K. Ardiwinata sebagai yang tercantum di muka (butir 1).

5. Dibesarkan dalam Lingkungan Bangsawan
Jabatan pamong praja dan urusan agama (termasuk kalipah sebagai wakil-wakil penghulu) pada masa pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum bangsawan dan titel raden yang dipakai oleh R. Moh. Gapur pun menunjukkan bahwa ia berdarah bangsawan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa D.K. Ardiwinata dibesarkan dalam lingkungan bangsawan dari golongan pejabat agama. Hal ini terlihat dari dasar pendidikan yang diterimanya ketika masih kecil ialah pendidikan agama (Tini Kartini, 1979:1-2). Ibunya termasuk anggota keturunan Batulajang (Gajah).

6. Gelar Kanduruan
Ardiwinata sendiri baru mempergunakan gelar Daeng sebagai ciri turunan bangsawan Makassar setelah memperoleh gelar Kanduruan yaitu gelar kehormatan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada guru yang cakap dan banyak jasanya. Dalam tulisan-tulisannya, ia baru menggunakan gelar itu setelah tahun 1912. Sebelumnya, ia hanya mempergunakan nama Mas Ardiwinata atau Ardiwinata saja.

Gelar Kanduruan didapatnya dalam tahun 1912. Kemudian dalam tahun 1920 (31 Agustus) memperoleh bintang Ridder in Order van Oranje Nassau dari Ratu Wilhelmina.

7. Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan agama (mengaji) di waktu kecil dan tamat sekolah dasar, Sekolah Cibadak (1881). Masuk Sekolah Guru (Kweekschool) dan tamat hanya dalam waktu 3 tahun yang seharusnya ditempuh dalam 4 tahun.

Mula-mula sebagai guru (1886-1901) lalu dipindahkan ke Sakola Menak (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaran/OSVITA) sebagai guru bahasa Melayu (1901-1910). Pemimpin Redaksi pada Commisie voor de Volksleetuur (kemudian: Balai Pustaka) (1911-1917), kemudian kembali sebagai guru bahasa Melayu pada Kweekschool (1917-1922).

8. Tokoh Sastrawan Sunda dan Sesepuh Paguyuban Pasundan

D.K. Ardiwinata banyak bergerak dalam bidang sosial. Sewaktu “Paguyuban Pasundan” didirikan pada tanggal 22 September 1914 di rumahnya, D.K. Ardiwinata terpilih sebagai ketua. Dia juga menjadi Ketua Budi Utomo cabang Bandung. Perhatiannya banyak dalam bidang agama dan pendidikan dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah agama (1931-1940), tetapi yang sangat mengorbitkan namanya ialah dia sebagai sastrawan sunda. Banyak karangannya dalam bahasa Sunda, baik yang berupa “dongeng-dongeng Sudan”, prosa dan puisi Sunda, dan roman modern. Karya tulisnya yang berjudul “Barung ka nu Ngarora” (Racun bagi para muda/1914) dianggap memenuhi kriteria roman modern yang pertama dalam bahsa Sunda.
Categories:

2 komentar:

  1. menarik juga, cuma ada sedikit koreksi penulisan nama Karaeng Yukte Desialu seharusnya Karaeng Utte Daeng Sialu

    BalasHapus
  2. Iye nama lengkap nya kalau tdl keliru ; Utte Karaeng Siallu Puatta Ri Lombok/ Arung ri Pao

    BalasHapus