Tokoh Sastrawan
Sunda dan Sesepuh Paguyuban Pasundan
Oleh: H. D.
Mangemba
“DAENG
Kanduruan Ardiwinata merupakan seorang sastrawan Sunda yang banyak dibicarakan
orang, baik yang bertalian dengan riwayat hidupnya hasil karyanya. Di antara
para penulis yang pernah membicarakan adalah Ajib Rosidi dan Utuy Tatang
Santani,” demikian kata pengantar Tini Kartini dalam bukunya yang berjudul
“Daeng Kanduruan Ardiwinata Sastrawan Sunda” (1979).
1.
Siapakah Daeng Kanduruan Ardiwi-nata itu?
Dia
dilahirkan pada tahun 1866 di Desa Kejaksaan Girang, Bandung dan meninggal 12
Januari 1947 di Manonjaya, Tasikmalaya. Kakek Daeng Kanduruan Ardiwinata yang
bernama Karaeng Yukte Desialu adalah raja Lombok dari Makassar yang dibuang ke
Bandung oleh pemerintah Belanda karena memberontak. Ia dibuang bersama
putranya, Baso Daeng Pasau alias Daeng Sulaeman, dan kakeknya, Karaeng
Ballasuka.
Di
bandung, Baso Daeng Pasau mempersunting gadis Priangan bernama Nyi Mas Rumi,
dan dari perkawinan itu lahir Daeng Kanduruan Ardiwinata.
Ketika
Ardiwinata berusia tiga tahun, kakek dan ayahnya mendapat pengampunan dan
diperkenankan kembali ke Makassar. Oleh karena keluarganya tidak mengizinkan
Nyi Mas Rumi mengikuti suaminya ke Makassar, maka ibu dan anak itu ditinggalkannya
di Bandung. Sepeninggal ayahnya, Daeng Kanduruan Ardiwinata (D.K Ardiwinata)
dibesarkan oleh kakak ibunya yang bernama Nyi Mas Haji Mariam, istri R. Moh.
Gapur, kalipah asesor Bandung (Rosidi, 1969:42).
2.
Ballasuka, Suka dan Pao Masuk Wilayah Gowa
Dalam
kontrak yang dibuat gubernur dengan Bone tanggal 13 Februari 1860, maka
ditetapkanlah bahwa Ballasuka, Suka, dan Pao yang letaknya antara Sungai Tangka
dan Maningko akan dijadikan daerah gubernemen. Negeri-negeri itu berganti-ganti
diperintah oleh Gowa dan Bone. Tetapi sejak tahun 1816 negeri-negeri itu
mengakui kekuasaan Gowa, maka gubernemen menyerahkan kekuasaan atas
negeri-negeri itu kepada raja Gowa, menurut perjanjian pada tanggal 24 Desember
1860. Demikian pula kawasan-kawasan yang terletak pada sebelah selatan Gunung
Katanorang, Boronglangik-E, dan Bonto Uhe, sedangkan Turungang, Manipi, dan
Manimpahoi menjadi kepunyaan gubernemen dengan Balanipa sebagai pusatnya.
3.
Karaeng Lombok Dibuang ke Cianjur
Dalam
bulan Februari 1862 Karaeng Ballasuka dan kedua putranya beserta Karaeng
Lombok, saudara laki-laki Karaeng Ballasuka, dengan mengerahkan rakyat
bersenjata ke Manipi sementara Asisten Residen J.A. Bakkers berada di sana
membujuk Arung Manipi beserta anggota-anggota handatnya supaya berangkat ke
Balanipa. Mereka memperlakukan Bakkers dengan tiada senonoh dan mengancam akan
membunuhnya.
Februari
1860
Aroe
Balasoeka en zijn beide zoons Daeng Paselloe en Daeng Papada, en Kraeng Lombo,
broeder van Aroe Balasoeka verstauten zich met gewapend volk naar manipie
tegaan, terwijl de ambtenaar bakkers zich daar bevindt om Aroe Manipie en haar
hadat overtehalen naar Balanipa aftekomen. Hij behandelen die ambtenaar op eene
onbetamelijke wijze en bedregen een ogenblik zelfs zijn leven. (Geschiedkundig
Overzigt van hwt Gouvernement Celebes en Inderhoorigheden van 1846 t/m 1865).
Karena
Ballasuka, Suka, dan Pao adalah wilayah Gowa, maka dalam tahun 1862 (April)
raja Gowa sendiri ke Wawobuluk untuk menghukum beberapa anak raja dari
Ballasuka dan Suka karena memberi malu kepada Asisten Residen Bakkers. Dalam
perang ini, Karaeng ini, Karaeng Suka tewas. Pamannya, Karaeng Lombok (putra
Aru Pao) bersama putranya tertangkap dan diserahkan kepada gubernemen, dan
mereka dibuang ke Cianjur (Gouvts, Besluit van 12 Agustus 1862 No. 43). Karaeng
Ballasuka bersama kedua putranya, Daeng Pasellu dan Daeng Papada, menurut pihak
Belanda, mengusik (mengacau) penduduk Suka dan Ballasuka, akhirnya Karaeng
Ballasuka dan Daeng Pasellu tertangkap di Manipi dan dibuang ke Cianjur dalam
tahun 1864.
De
Koning van Goa tuchtihgt Soeka en Belasoeka. Aroe Soeka sneuvelt; zijn oom
Kraeng Lombo (zoon van Aroe Pao) Wordt met zijn zoon gavangen genomen en aan
net Gouverment overgeleverd, en naar Tjanjoer verbannen (Gouvts. Besluit van 12
Agustus 1862 No. 43). Aroe Balasoeka, Daeng Paselloe en Daeng Papada houden
zich in Manipie op, en verontrusten de bevolking van Soeka en Balasoeka.
4.
Dibuang ke Cianjur
Karaeng
Ballasuka dan Karaeng Lombok adalah bersaudara. Mereka adalah putra Aru Pao,
sedangkan Karaeng Suka adalah kemenakannya. Sebagai akibat pemberontakan
terhadap kedudukan Belanda di Manipi, maka Karaeng Lombok beserta putranya Baso
Daeng Pasau dibuang gubernemen ke Cianjur dalam tahun 1862, sedangkan Karaeng
Ballasuka dibuang pula ke Cianjur dua tahun kemudian (Oktober 1864). Jadi, agak
sesuailah dengan data yang terdapat dalam riwayat hidup D.K. Ardiwinata sebagai
yang tercantum di muka (butir 1).
5.
Dibesarkan dalam Lingkungan Bangsawan
Jabatan
pamong praja dan urusan agama (termasuk kalipah sebagai wakil-wakil penghulu)
pada masa pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum bangsawan dan titel raden
yang dipakai oleh R. Moh. Gapur pun menunjukkan bahwa ia berdarah bangsawan.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa D.K. Ardiwinata dibesarkan dalam
lingkungan bangsawan dari golongan pejabat agama. Hal ini terlihat dari dasar
pendidikan yang diterimanya ketika masih kecil ialah pendidikan agama (Tini
Kartini, 1979:1-2). Ibunya termasuk anggota keturunan Batulajang (Gajah).
6.
Gelar Kanduruan
Ardiwinata
sendiri baru mempergunakan gelar Daeng sebagai ciri turunan bangsawan Makassar
setelah memperoleh gelar Kanduruan yaitu gelar kehormatan yang diberikan oleh
pemerintah Belanda kepada guru yang cakap dan banyak jasanya. Dalam
tulisan-tulisannya, ia baru menggunakan gelar itu setelah tahun 1912.
Sebelumnya, ia hanya mempergunakan nama Mas Ardiwinata atau Ardiwinata saja.
Gelar
Kanduruan didapatnya dalam tahun 1912. Kemudian dalam tahun 1920 (31 Agustus)
memperoleh bintang Ridder in Order van Oranje Nassau dari Ratu Wilhelmina.
7.
Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan
agama (mengaji) di waktu kecil dan tamat sekolah dasar, Sekolah Cibadak (1881).
Masuk Sekolah Guru (Kweekschool) dan tamat hanya dalam waktu 3 tahun yang
seharusnya ditempuh dalam 4 tahun.
Mula-mula
sebagai guru (1886-1901) lalu dipindahkan ke Sakola Menak (Opleiding School
Voor Inlandsche Ambtenaran/OSVITA) sebagai guru bahasa Melayu (1901-1910).
Pemimpin Redaksi pada Commisie voor de Volksleetuur (kemudian: Balai Pustaka)
(1911-1917), kemudian kembali sebagai guru bahasa Melayu pada Kweekschool
(1917-1922).
8.
Tokoh Sastrawan Sunda dan Sesepuh Paguyuban Pasundan
D.K.
Ardiwinata banyak bergerak dalam bidang sosial. Sewaktu “Paguyuban Pasundan”
didirikan pada tanggal 22 September 1914 di rumahnya, D.K. Ardiwinata terpilih
sebagai ketua. Dia juga menjadi Ketua Budi Utomo cabang Bandung. Perhatiannya
banyak dalam bidang agama dan pendidikan dengan jalan mendirikan
sekolah-sekolah agama (1931-1940), tetapi yang sangat mengorbitkan namanya
ialah dia sebagai sastrawan sunda. Banyak karangannya dalam bahasa Sunda, baik
yang berupa “dongeng-dongeng Sudan”, prosa dan puisi Sunda, dan roman modern.
Karya tulisnya yang berjudul “Barung ka nu Ngarora” (Racun bagi para muda/1914)
dianggap memenuhi kriteria roman modern yang pertama dalam bahsa Sunda.
Categories: Sejarah Indonesia
menarik juga, cuma ada sedikit koreksi penulisan nama Karaeng Yukte Desialu seharusnya Karaeng Utte Daeng Sialu
BalasHapusIye nama lengkap nya kalau tdl keliru ; Utte Karaeng Siallu Puatta Ri Lombok/ Arung ri Pao
BalasHapus