TANJUNG
Taufiq Ismail
kepada
saudara-saudaraku di Cape
hilang berabad,
demikian lamanya
Apa arti Afrika bagiku, begitu aku bertanya sendiri
Suatu malam pada minggu ketiga syawal ini
Langit jernih dan bulan sabit di atas Desa Pandan
Apa makna Afrika kawasan selatan bagiku dalam perjalanan
Aku bersimpuh sunyi di lantai masjid Kampung Pandang
Kipas angin telah berhenti berputar dan panas terasa
menekan
Penerbangan di atas benua yang mendebarkan
Ada hutan raksasa dan ada sayup-sayup savanna
Ada hippo, ada rhino lalu kawanan burung falmingo
Gundukan keping emas debu intan tanah menyilaukan bumi
Dan kulihat darah bersemburan di sela-selanya
Lalu gemuruh kaki berlari, tambur berdentuman
Kudengar deru angin barat pada tujuh layar yang berkibar
Kapal dari Tanah Rendah di Tanjung turun jangkar
Vereenigde Oost-Indische Compagnie. VOC.
Kudengar hyena dan wildebeest meraung di belantara luas
Kulihat darah berserakan di atas logam dan batu-batuan
Kudengar bunyi angin timur pada layar berkibar-kibar
Kapal dari khatulistiwa di Tanjung buang jangkar
Turunlah Syekh Yusuf di benua selatan
Lelaki pemberani yang menjalani pembuangan
Pemikir dalam sunyi yang mengguratkan tulisan
Ditakuit ketika memimpin pertempuran
Ditakuti ketika sudah jadi tulang-belulang
Ya Syekh, apa gerangan gumam zikirmu
Yang sepanjang butir tasbihmu gemerlapan 300 tahun
Rata di atas dua samudera, mendaki langit lapis berlapis
Ada hyena dan wildebeest meraung di belantara luas
Ada ceceran darah, bertabur, kering dan basah
Tibalah Tuan Guru dari pulau sangat jauhnya
Lelaki pejuang yang menjalani pembuangan
Di dalam ingatannya tersimpan 30 juz Al-Quran
Dari jemarinya mengalir makrifah sebagai tulisan
Simaklah muridnya di madrasah Dorp Street bernyanyi:
“Alief dettis a, alief bouwa ie, alief dappan oe
a, ie, oe
Bah dettis bah, bah bouwa bieh, bah dappan boeh
bah, bieh, boeh
Ta dettis ta, ta bouwa tie, ta dappan toe
ta, tie, toe…”
Wahai Tuan Guru, apa gerangan wirid zikirmu
Kemilau tasbih 200 tahun menyeberangi dua samudera
Melayangi tujuh lapis langit bagaimana aku mengukurnya
Senjata rahasia di benua buangan sejauh ini
Bersama rombongan orang seperjalanan ini
Beribu-ribu, berperahu, menyandang takdir misteri
Melata terbungkuk, menyeret berat logam belenggu
Ditiup angin timur ke benua ini
Samudera yang menghanyutkan nasib
Lewat abad-abad gemuruh dengan cakar yang perih
Kudengar raungan hyena dan wildebeest di belantara
Kulihat bercak merah, berserak dan basah.
KL, April 1993
Categories: Sejarah Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar